Belum lama ini negara kita merayakan pesta demokrasi melalui perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Tanggal 27 Juni 2018 lalu menjadi waktu bersejarah karena telah dihelatnya Pilkada Serentak 2018. Tidak tanggung-tanggung, Pilkada digelar di 171 daerah yang terdiri dari 13 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Dan begitupun dengan Bogor, baik Kota dan Kabupaten Bogor pun menghelat pesta demokrasi yang dilakukan lima tahun sekali itu.
Meskipun Pilkada sudah kita lewati dan hasil real count telah berseliweran di layar kaca, gawai maupun media cetak, tapi kita harus menunggu hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sampai tanggal 9 Juli dan menunggu pengumuman secara resmi dari KPU setelahnya.
Gairah Pilkada menjadi berbeda di akhir-akhir ini, selain dilakukan secara bersama, kursi kepemimpinan di daerah menjadi hal yang berharga. Hal itu terjadi sejak sistem otonomi daerah diberlakukan, karenanya daerah memiliki kebijakan dan kewenangan dalam mengelola sumber daya dan membangun daerahnya sehingga tercapai pembangunan nasional.
Bicara Kepala Daerah atau Kepala Negara identik dengan pembangunan. Baik kepala daerah maupun kepala negara ditunggu kebijakannya dalam pembangunan dan kebijakan yang pro rakyat. Tetapi, selain itu, yang menarik adalah bahwa kini pembangunan tidak hanya lagi dapat dilakukan oleh kepala daerah atau pemerintah saja.
Konsep pembangunan masyarakat yang biasanya dilakukan secara top down kini juga bisa kita lakukan secara bottom up atau pembangunan mulai dari bawah oleh masyarakatnya. Hal itu jelas terlihat dan benar-benar saya rasakan.
Kini, perubahan dan pembangunan juga harus menjadi tanggung jawab masyarakat dengan memulai menyelesaikan masalah di lingkungannya sendiri. Dari komunitas Bogor, saya banyak belajar bagaimana hal-hal tersebut dapat dilakukan, padahal hanya dilakukan oleh kelompok pemuda yang dari segi kemampuan, tidak punya banyak uang, juga tidak punya kekuatan yang besar untuk mengubah kebijakan, yang mereka punya hanya kemauan untuk ciptakan perubahan.
Saya pernah menyusuri satu kampung di Bogor, kampung yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua, gangnya kecil dan berkelok. Di sana, saya menemui satu komunitas anak muda Bogor, Sekolah Bersama Yuk (Sebersy) dan Wabe Project namanya, yang sudah lebih dari lima tahun mencoba mencerdaskan anak-anak di sana yang ternyata, ada banyak dari mereka yang putus sekolah karena terkendala masalah ekonomi. Bahkan, ada beberapa dari mereka yang harus membantu kedua orangtuanya mencari nafkah dengan mengumpulkan barang-barang bekas. Berkat kemauan dan tekad komunitas pemuda Bogor itu, mereka dapat membangun kembali asa dan harapan tunas bangsa yang sempat redup.
Saya juga pernah, belajar dari satu komunitas yang berkat kecintaan kepada kampungnya, mereka berbuat dan berkarya. Dari mulai kegiatan berbau pendidikan, literasi hingga kegiatan ramah lingkungan dengan mengumpulkan sampah-sampah warga yang awalnya dibuang ke sungai lalu kemudian mereka kelola menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis. Padahal, komunitas yang berisi pemuda Bogor tersebut ternyata adalah mantan jawara muda yang kerap kali melakukan kegiatan negatif. Dan mereka adalah Komunitas Peduli Katulampa (Kompak).
Dan tentunya, masih banyak lagi Komunitas Muda-mudi Bogor yang hebat-hebat dan berkat kemauan dan harapan akan perubahan, mereka melakukan kegiatan dari mulai mengajar anak-anak belakang terminal, anak-anak di desa terpencil, membuka lapak baca di taman dan di desa, melakukan kegiatan ramah lingkungan, melestarikan cagar budaya dan sejarah kota dan kegiatan sosial lainnya. Bagi saya, mereka adalah lilin-lilin yang akan menerangi lingkungannya, kotanya dan juga bangsa ini. Mereka berujar, “Kalau bukan kita, siapa lagi, kalau tidak sekarang, kapan lagi.”
Oleh karena itu, saya menyimpulkan bahwa komunitas memiliki peran dan menjadi indikator kemajuan sebuah kota. Jadi, gairah keberhasilan pemenang kepala daerah di berbagai daerah juga harus disambut oleh inisiatif masyarakat dan pemudanya, karena bila masyarakat dan pemuda hanya menunggu perubahan, saya yakin, perubahan itu akan semakin jauh dan berlaku sebaliknya. Untuk itu, sistem top down dan bottom up harus disinergikan untuk bisa membangun sebuah daerah. Artinya, pemimpin harus punya program dan kebijakan untuk perubahan, demikian pun dengan masyarakat dan pemuda yang harus punya inisiatif dan jangan hanya sekedar mengeluh. Selain itu, kepala daerah juga perlu memberikan stimulus untuk hal itu.
Namun, bicara komunitas juga bukan sesuatu yang tanpa kekurangan. Meski telah melalukan hal baik dan ciptakan perubahan, bukan berarti tanpa dinamika. Empat tahun ini saya bergelut di dunia Komunitas Bogor, tidak sedikit yang timbul dan tenggelam. Bahkan ada beberapa yang tenggelam dan tidak pernah muncul lagi.
Ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, dari mulai hilangnya semangat sang pendiri, hingga lumpuhnya peran regenerasi. Untuk itu, para pegiat komunitas perlu menyadari gejala ini dan mengantisipasinya bila ingin terus melakukan hal baik dan ciptakan perubahan secara berkelanjutan.
Menurut saya, setiap komunitas pasti ada dinamika dan permasalahan dan semua punya strateginya masing-masing untuk mencegah bahkan mengobati permasalahan tersebut. Untuk itu, komunitas perlu membuka diri untuk mau mengenal dan belajar dari komunitas lain dan tidak hanya ingin dikenal. Dari Komunitas Bogor, saya pun belajar demikian, mereka ingin dan membuka diri dengan komunitas lain kemudian saling berbagi dan bersinergi. Bahkan, sejak 2014 lalu para komunitas pegiat perubahan asal Bogor tersebut sepakat untuk membangun wadah bersama dengan nama Bogor Ngariung.
Dari hal-hal ini, kita dapat pelajari bahwa bila kita merindukan perubahan, kita dapat melakukannya baik sendiri maupun bersama komunitas, selain itu komunitas juga perlu terus belajar dan mau maju bersama dengan komunitas/organisasi atau instansi lain.
Semoga semangat kita dalam melakukan perubahan terus ada dan terjaga dan semoga semakin banyak individu dan komunitas yang membangun daerahnya dengan aksi nyata.
Terima kasih,
Salam Ngariung,
Salam Perubahan.
Robby Firliandoko.