haibogorngariung@gmail.com Sign In | Sign Up

Pada tahun 1800-an, Bogor pernah mendunia melalui lukisan Antoine Payen yang dipamerkan di Eropa dengan tema suasana Bogor yang dinarasikan sebagai sepenggal tanah surga. Hal itu, memantik Forum Unggah Unduh Kota ke-7 yang diselenggarakan oleh Kampoeng Bogor di Kopi Kebun-Eternal Store, pada 28 Februari 2020. Seluruh peserta yang hadir seolah diajak bermesraan dengan suasana Bogor yang pernah menjadi imajinasi Kolonial bahwa Bogor merupakan kota yang bebas dari kekhawatiran dengan dinamakan “Buitenzorg”.

Koordinator Kampoeng Bogor Reza Adhiatma menjelaskan bahwa Forum Ungggah Unduh Kota ada sejak tahun 2016 yang diharapkan dapat menjadi ruang diskusi dan bertukar fikiran dari dan oleh warga. “Kampoeng Bogor sendiri saat ini sudah berusia 13 tahun. Dan untuk kegiatannya sendiri kami ada kegiatan menelusur kota yaitu Tualang Senang, Unggah Unduh Kota sebagai forum diskusi dan juga riset tentang isu urban,” kata Reza. Reza juga menambahkan bahwa biasanya, format Unggah Unduh Kota hanya menyajikan satu pemateri namun pada edisi kali ini Unggah Unduh Kota menyajikan dua pamateri yakni penulis Seluang.id Anggit Saranta dan penulis senior Dewi Panji.

Moderator Unggah Unduh Kota ke-7 Ardy Kresna Crenata mengawali forum dengan mengajak Pemateri untuk bercerita tentang perubahan Bogor dari waktu ke waktu. Penulis Senior Dewi Panji yang sudah tinggal di Bogor sejak tahun 1955 bercerita bahwa pada saat itu di tempatnya tinggal, Taman Malabar masih banyak Kelelawar yang tinggal di Kebun Raya dan akan menghitami langit-langit pada sore hari. “Keadaan itu yang paling saya ingat dan saya rindukan. Dahulu juga belum ada jalan tol dan masih banyak sawah dan kebun-kebun. Dulu juga tidak ada mal, tempat perbelanjaan berpusat di Jembatan Merah dan sangat jarang sekali kendaraan. Anak-anak berangkat dan pulang sekolah naik delman,” kata Dewi Panji. Selain itu, Dewi Panji juga menambahkan bahwa budaya masyarakat juga berubah. Dewi bercerita bahwa pada saat itu, masyarakat Bogor saling kenal dan dekat.

Penulis Seluang.id yang juga pegiat Kampoeng Bogor Anggit bercerita bahwa meskipun tidak lahir dan besar di Bogor, Anggit yang tinggal di Bogor sejak tahun 2005 memiliki kesan bahwa Bogor seperti Salatiga karena udaranya sejuk dan banyak pohon. “Saya dari Sleman dan memilih Bogor karena saya pernah ke Bogor pada tahun 2002 dan saya merasakan nyaman karena cuaca dan suasana. Kalau di Jogja dulu, saya harus ke Kaliurang dulu baru merasakan hawa dingin,” kata Anggit. Kemudian, Anggit juga menjelaskan bahwa ketertarikannya dengan Bogor karena pada waktu itu berkenalan dengan beberapa pemuda di Kalam yang pada waktu itu sedang merencanakan untuk mengadakan Pameran Bogor Tempo Dulu. “Saya dulu dipaksa baca oleh Alm. Baehaqi, setelah itu kami mulai memahami apa yang beliau inginkan. Dulu kerjaan kami adalah baca dan menyerbu taman dengan mengadakan pameran soal Bogor Tempo Dulu. Kita juga harus berterima kasih kepada Alm. Saleh Danasasmita yang telah banyak menuliskan tentang sejarah Bogor,” tambahnya.

Mengenai Buku Buitenzorg Kota Terindah di Jawa, Anggit menjelaskan bahwa buku itu menceritakan tentang kekaguman para pelancong Eropa pada era kolonial kepada Bogor. “Salah satunya Reinwardt, seorang professor sejarah alam yang pada tahun 1800-an dikirim ke Bogor untuk meneliti tentang salah satu penyakit, kemudian dia malah tertarik mengunjungi taman-taman yang ada di Bogor sebelum akhirnya menggagas untuk mendirikan Kebun Raya di Bogor. Dan setelah itu Bogor jadi bahan perbincangan, bahkan brosur-brosur pariwisata juga memuat gambar Bogor, namun, untuk dapat berkunjung ke Bogor pada waktu itu tidak mudah,” katanya.

Berbicara mengenai buku Sejarah Bogor karya Alm. Saleh Danasasmita, Anggit menambahkan bahwa sebenarnya tulisan Alm. Saleh belum selesai dalam menuliskan bukunya itu dan ada kabar mengenai manuskrip yang dimaksudkan sebagai karya pelengkap buku Sejarah Bogor tersebut yang hilang dan tidak ditemukan sampai hari ini.

Pada akhir sesi, Dewi Panji mengutarakan mimpinya bahwa ingin Bogor kembali seperti pada dahulu kala. Pada tahun 80 atau 90an di mana warganya masih guyub, hawanya masih sejuk dan bisa menikmati keindahan Gunung Salak. Sementara Moderator Unggah Unduh Kota ke-7 Ardy Kresna Crenata bermimpi bahwa ingin Bogor menjadi kota intelektual yang menyediakan ruang-ruang dialektika. Lalu Anggit, ingin merasakan suasana Bogor yang dilalui oleh Ibu Dewi Panji dan lain-lain. “Saya berharap, Bogor ini diisi oleh warga dan punggawa yang cinta dengan Kota ini. Saya merindukan Kota yang ramah kepada warganya,” tutup Anggit.

Penulis : Robby Firliandoko
Foto : Dokumentasi

%d bloggers like this: